(Pernah diikutkan dalam Lomba PT. Rohto Laboratories Indonesia)

 

Hari ini aku duduk di samping sahabatku, Wira, di tempat yang tak biasanya. Ia tak pernah mengajakku ke tempat ini. Tempat ini begitu hijau, teduh, dan jauh dari keramaian. Beberapa menit yang lalu Wira tiba-tiba saja datang padaku mengajakku pergi dengan motor balapnya. Seperti biasa, ia mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi, tanpa penjelasan apapun. Aku tahu, saat seperti itu adalah saat sulit baginya. Pasti ada sesuatu yang ingin ia sampaikan.

Perwira Abdi Putra, sahabatku sejak SMA hingga sekarang kami duduk di bangku kuliah semester 3. Kami satu universitas, namun berbeda jurusan. Wira menempuh pendidikannya di Fakultas Kedokteran sedangkan aku di Fakultas Keperawatan.

Wira masih saja berdiam diri dalam waktu yang lumayan lama setelah kami sampai di tempat ini. Tidak seperti Wira yang biasanya, yang selalu menghiburku.

Keingintahuanku yang sangat besar menggodaku untuk bertanya kepadanya, “Oke, Wira. Sekarang jelaskan padaku apa yang ingin kamu bicarakan denganku saat ini,” kemudian aku duduk di samping Wira. Ia tetap memandang tajam lurus ke depan. Kuikuti pandangannya yang menuju pemandangan indah, namun tatapannya tidak di sana. Tatapan matanya kosong seakan-akan tidak ada apa-apa. Kuulangi perkataanku, “Wira…”

“Vir, hari ini di belahan bumi lain sedang terjadi sesuatu yang amat penting. Tapi, tidak begitu penting juga buatku!” lalu dia diam lagi.

“Wira, cukup katakan apa yang sedang terjadi padamu.”

Selanjutnya secara perlahan dia memandangku, “Dengar, saat ini ayah dan ibuku sedang berada di pengadilan. Yah…” Wira melihat arlojinya. “Tepat jam sembilan.”

“Pengadilan? Ada apa?” walaupun aku belum pernah bertemu secara langsung ayah dan ibu Wira, tapi tetap saja aku merasa ini bukan hal biasa.

“Kamu pikir apa? Kalau dua orang suami istri berada dalam pengadilan?”

“Aku memikirkan sesuatu, tapi… mana mungkin…”

“Cepat katakan saja apa yang kau pikirkan.”

Aku ragu mengatakan sesuatu yang terlintas dalam pikiranku. Tapi Wira memandangku terus menunggu kata-kata yang akan keluar dari mulutku, “Perceraian?” aku memasang wajah tak percaya. “Tapi mana mungkin kan? Itu cuma pikiranku yang konyol,” aku menertawakan pikiranku itu.

“Bagaimana kalau akhirnya aku bilang bahwa pikiran konyolmu itu benar?” wajahnya beralih dari wajahku dan kembali menatap ke depan. Apakah ini serius?

“Wir, serius?”

“Vir, aku memang sering ngusilin kamu, tapi apa perkataanku yang barusan terdengar lucu?” jawabnya kesal.

“Maaf Wir, bukan maksudku… aku hanya tidak percaya…”

“Oh, baguslah kalau tidak percaya. Aku juga akan mencoba untuk tidak percaya,” segera aku merasa kasihan melihatnya marah pada dirinya sendiri.

“Wir, kamu nggak pernah cerita sama aku, jadi mana aku tahu kalau…”

“Kamu pikir aku tahu Vir? Baru tiga hari yang lalu ibuku memberitahuku tentang semuanya!”

Aku mencoba untuk sabar menghadapi Wira, “Lalu kenapa kamu tidak menghadiri..?” tiba-tiba saja aku menghindari untuk menggunakan kata ‘perceraian’.

“Vir, apa itu merupakan suatu kebanggaan buatmu kalau kau bisa menghadiri perceraian kedua orangtuamu?”

“Oke, oke Wira. Aku harus bicara seperti apa supaya kamu tidak marah?” aku mulai kesal dengan sikapnya yang melampiaskan marahnya padaku.

“Maaf Vir, aku sedang kesal.”

“Maksudku begini Wir, apa ibu dan ayahmu tidak memintamu untuk menghadiri…”

Wira merogoh saku celananya dan memperlihatkan ponselnya padaku, “Aku sengaja menonaktifkan ponselku seharian ini Vir,” wajahnya masih menatap kosong. Kutatap sosoknya yang begitu gagah dan tampan pujaan teman-temanku ini ternyata memiliki kelemahan yang membuatnya tidak setegar yang terlihat dari luar. Aku ingin melindunginya, menjadi penopangnya, menunjukkan bahwa aku ada di sisinya.

“Wira, aku mau mengatakan sesuatu kepadamu. Tapi jangan terburu-buru emosi, oke?”

“Oke.”

“Dengar Wir, kalau aku jadi ibumu dan aku akan menghadapi hal sulit seperti perceraian, misalnya, maka aku akan mencari kekuatan untuk menghadapinya, dan kekuatan seorang ibu adalah anaknya. Tapi apa yang terjadi padaku kalau kekuatan itu tak ada?” Wira tak menjawab, entah karena enggan atau tak mampu berkata-kata. “Wir, mungkin kamu memang sibuk sendiri dengan perasaanmu saat ini, kamu memang sedang emosi dan marah sendiri dengan keadaanmu saat ini. Tapi apakah kamu memikirkan bagaimana keadaan orang tuamu sekarang?”

“Lalu apa yang harus kulakukan Vir?”

“Beri mereka kekuatan, Wir.”

Setelah mengucapkan kata-kata itu aku pun terdiam memberikan waktu bagi Wira untuk menenangkan diri. Butuh waktu lima menit baginya untuk itu, aku menyangka ia sedang menyusun kata-kata untuk kedua orang tuanya sebab tak mudah untuk menguatkan orang lain sedangkan dirinya sendiri sedang remuk redam. Selanjutnya ia bangkit dari duduknya, menjauh dariku untuk menggunakan ponsel.

“Vir!” dengan kagetnya aku menoleh. Wira mengulurkan tangannya padaku untuk membantuku berdiri. Wajahnya sudah mulai tersenyum. Inilah Wira yang selama ini kukenal. “Terima kasih ya Vir, sekarang aku sudah mulai lega. Tiap orang memang punya takdir sendiri. Biarkan orang tuaku memutuskan sendiri jalan mereka. Apapun yang terjadi, mereka masih orangtuaku,” aku tersenyum. Wira mengusap pipiku, kemudian jari-jarinya naik ke atas menuju sudut mataku. Tanpa kusadari, air mataku telah jatuh.

“Kenapa menangis, Vir?”

“Nggak kok Wir, nggak apa-apa kok. Aku memang cengeng, harusnya aku yang menguatkan kamu ya, bukannya malah menangis seperti ini,” Wira mengacak-acak rambutku. Biasanya aku marah bila ia melakukannya, tapi kali ini aku senang karena ia sudah kembali seperti Wira yang kukenal. Kemudian ia menuntunku menuju motornya. Kami pulang kembali.

###

Hari selanjutnya, aku bersiap-siap menuju kampus. Aku sedang memasukkan buku-buku ke dalam tas ranselku. Semenjak aku kuliah, aku tinggal di rumah tanteku. Ia dan suaminya memiliki anak tunggal. Anak mereka masih kuliah semester akhir di fakultas teknik. Aku menganggapnya kakakku sendiri sebab sejak dulu aku ingin memiliki seorang kakak, dan ia memperlakukanku seperti adik karena ia anak tunggal.

Kakak sepupuku, Tomi, mengetuk pintu kamarku ketika aku sedang memeriksa perlengkapan di tas ranselku, “Dik, temanmu sudah menjemput kamu di depan,” aku berhenti memasukkan binder ke dalam tasku untuk membuka pintu kamar.

“Siapa Mas?”

“Dia yang kemarin mengajakmu keluar itu, cowok yang memakai motor.”

“Oh, Wira, tumben.”

“Jadi namanya Wira… ehm, kalau dia mau jadi pacar kamu, dia harus minta ijin dulu sama masmu ini ya?”

“Apa-apaan sih Mas Tomi ini, dia itu sahabatku dari SMA!”

“Yah… siapa tahu? Aku harus tahu calon pacarmu itu seperti apa, jadi adikku ini tidak boleh salah pilih…” kulemparkan boneka pandaku yang berukuran besar kepada Mas Tomi lalu aku lari menuruni tangga.

Di ruang tamu aku bertemu dengan Wira. Mendengar langkah kakiku, ia mendongak dan tersenyum, “Pagi non, berangkat sekarang?”

“E… Wir, kok tiba-tiba menjemputku?”

“Kamu nggak suka kujemput ya?”

“Bukan, aku suka kok…”

“Kalau begitu, ayo kita berangkat,” aku pun menurutinya tanpa banyak bicara. Di samping motornya, ia berhenti untuk memberiku helm, “Oh ya Vir, mulai saat ini aku akan menjemputmu. Boleh kan?” aku hanya mengangguk terheran-heran mendengarnya.

“Oh ya, ngomong-ngomong Tomi itu kakak sepupumu ya? Dia baik dan asyik diajak ngobrol, ya?”

“E… jadi kamu sudah kenal ya?”

“Ya… baru saja aku ngobrol dengan dia.”

“Apa saja yang kalian bicarakan?”

Wira tertawa kecil, “Itu urusan antara laki-laki, anak kecil nggak boleh ikut campur,” kemudian mengacak-acak rambutku lagi sebelum aku sempat mengenakan helmku. Aku memasang wajah cemberut. Kemudian ia menginjak gasnya, melaju di jalanan sekencang mungkin.

Wira menghentikan motornya di lobi depan kampusku. Sekilas aku melihat teman-temanku, Sheila dan Ratih berjalan beriringan menuju lobi.

“Vir, jam sepuluh, kan?”

“Ha? Apa?”

“Kamu pulang kuliah jam sepuluh, kan? Nanti kujemput di sini. Oke, sekarang aku ke kampus dulu,” kemudian ia menginjak gasnya kembali menuju Fakultas Kedokteran.

“Ehm, jadi seperti apa perkembangannya?” tanya Sheila, yang tiba-tiba saja kutemukan sudah berdiri di sampingku.

“Perkembangan apa, La?”

“Kamu dan Wira lah, apa lagi?”

“Ah, kalian ini seperti Mas Tomi saja! Aku sama Wira itu bersahabat sudah hampir lima tahun. Jadi, kalau aku dekat sama dia itu wajar saja, kan?”

“Hm… ya ya ya Vir, tapi aku belum pernah melihat kau diantar Wira. Itu perkembangan, kan Vir?” akhirnya mereka terus menggodaku hingga kami bertiga sampai di kelas. Aku benar-benar lega mereka diam memperhatikan penjelasan teman-teman kami yang sedang presentasi di depan kelas. Namun ketika mereka sudah tenang, aku malah tak bisa memperhatikan pelajaran yang sedang berlangsung. Pikiranku melayang entah ke mana, tapi aku tak tahu apa yang sedang kupikirkan. Aku benar-benar sedang menghabiskan waktuku untuk hal yang tidak bermanfaat. Aku akan lebih senang jika jam perkuliahan kali ini selesai.

Arlojiku menunjuk angka sepuluh. Jam perkuliahan selesai. Lega rasanya lepas dari pikiranku yang tidak karuan ini. Aku bergegas meninggalkan ruang kuliah agar Sheila dan Ratih tidak cerewet lagi menggodaku. Wira pasti sudah menungguku di lobi depan kampus.

Ketika kucari sosok Wira, aku mendapatinya sedang duduk di atas motornya yang ia parkir di bawah pohon teduh. Ia membaca koran dengan serius, karena tak menyadari sama sekali kedatanganku. Kutengok apa yang sedang ia baca. Ada beberapa tulisan berstabilo dan semuanya adalah lowongan kerja part time.

“Mencari pekerjaan, Wir?” kulihat Wira menjadi gelagapan karena kaget dan tak sempat menyembunyikan korannya.

“Eh, i… iya, Vir.”

“Buat apa?”

“Hmh… memang sulit ya, menyembunyikan sesuatu di depanmu. Vir, kamu tahu kan ayahku sebenarnya tidak setuju aku kuliah di kedokteran? Dia lebih suka aku mengambil jurusan ekonomi atau akutansi. Dia ingin aku meneruskan bisnisnya, perusahaannya. Tapi aku tidak suka, Vir. Akhirnya ketika aku mengikuti tes masuk perguruan tinggi, secara diam-diam aku mengambil jurusan kedokteran. Beruntungnya aku, ternyata aku bisa meraih cita-citaku. Sejak saat itu, hubunganku dengan ayahku sedikit renggang. Tapi, ia tetap memberiku biaya kuliah,” ia berhenti sejenak untuk melipat korannya. “Tapi Vir, saat keputusan pengadilan diperdengarkan, aku sudah memutuskan akan tinggal dengan siapa. Aku akan bersama ibuku.”

“Em… Wir, apa kamu yakin akan menolak uang saku dari ayahmu seandainya ia masih mau membiayaimu?”

“Kukira ia tak akan membiayaiku, Vir. Aku akan memberitahunya agar ia membiayai ketiga anaknya yang lain, daripada aku. Kemudian aku akan benar-benar mencari pekerjaan untuk menghidupi diriku sendiri.”

“Kamu punya saudara, Wir? Aku masih ingat kalau kamu bilang padaku bahwa kamu anak tunggal?”

“Tentu saja bukan saudara kandung, Vira,” katanya sambil menatapku tajam penuh arti. Aku tahu sekarang alasan ayah dan ibu Wira bercerai.

“Oh… jadi begitu. E… tapi Wir, kamu kan masih punya ibumu?”

“Iya, kamu pikir apa pekerjaan ibuku? Selama masih bersama ayah, ibuku hanyalah sebagai ibu rumah tangga. Ibuku memang memiliki tabungan, tapi itu tak seberapa. Tak akan cukup untuk membiayai beberapa semester perkuliahanku. Jadi, aku menyarankan pada ibuku untuk membuka bisnis kecil-kecilan. Ibuku mempunyai keterampilan wirausaha, jadi ia membuka katering dan bisnis kue. Kuharap pemasarannya bisa lancar dalam beberapa bulan ini,” sungguh berat mendengarkan cerita Wira. Lagi-lagi aku tahu bahwa sahabatku yang tinggi, tampan, pujaan Sheila dan Ratih, juga teman-temanku yang lain ini ternyata rapuh. Ia seperti lapisan es yang tipis, ketika kau sentuh maka permukaannya akan retak menjadi air yang amat dingin. Aku tak bisa berkata apa-apa kali ini. Aku pun diam saja ketika dibonceng Wira untuk pulang ke rumah tanteku.

“Vir, besok pagi aku jemput lagi, ya. Maaf kali ini aku membuat suasana menjadi tidak nyaman. Baiklah, aku pulang dulu ya?”

“Wira!” tanganku menahan tangannya yang akan menjalankan motornya. “Kalau ada cerita yang masih ingin kamu bagi, jangan sungkan-sungkan ya. Hati-hati Wir?” ia menatapku beberapa menit, kemudian menyunggingkan senyum termanis yang pernah kulihat di wajahnya.

“Terima kasih, Vir,” kulepaskan tangannya. Bisa kulihat matanya yang masih menatapku di balik kaca helmnya. Sahabatku yang malang, Wira.

Kubalikkan badanku menuju rumah tanteku. Kulihat Bu Sumi menyapu halaman rumah tanteku. Ia adalah pembantu tanteku yang rumahnya berada beberapa meter dari rumah tante. Tanteku menyewanya karena tak memiliki banyak waktu untuk mengurus rumah.

“Eh, Nak Vira sudah pulang ternyata,” sapanya ketika melihatku.

“Iya Bu, Mas Tomi di rumah?”

“Iya, sedang mengerjakan skripsi. Sibuk sekali di depan komputernya,” mungkin sekarang saatnya melepaskan penat. Aku akan menjadi anak usil sebentar saja melampiaskan ‘dendam’ pada Mas Tomi. Setelah meletakkan tas dan sepatu di kamar, aku pergi ke ruang tengah. Benar kata Bu Sumi, Mas Tomi yang saat ini menggunakan kacamatanya sibuk sekali dengan skripsinya di depan komputer. Kalau sudah begini ia menjadi pendiam sekali. Rasanya tak tega untuk mengusilinya. Kubalikkan badanku kembali menuju kamar, saat Mas Tomi menegurku, “Sudah pulang, Vir?”

“Eh, iya Mas. Sibuk mengerjakan skripsi ya Mas?”

“Bukan, bukan skripsi kok,” aku mendekat penasaran ke arahnya, melihat apa yang sedang dikerjakan oleh Mas Tomi. Komputer di depannya berisi grafik-grafik dan daftar harga-harga yang sulit kumengerti.

“Apa ini?”

“Mas sama teman-teman sedang membuka bisnis kecil-kecilan. Sekarang masih dalam proyek, sih. Lumayan, Vir, kami tidak terlalu mengeluarkan banyak modal. Tempat sudah disediakan oleh ayah temanku, berupa gudang yang sudah tidak terpakai lagi. Lumayan besar sih, untuk sebuah bengkel.”

“Bengkel?”

“Iya, tapi ini bukan cuma sekedar bengkel, Vir.”

“Lalu?”
“Rencananya kami akan menjual
spare part, penggantian oli, pencucian, perawatan, dan sebagainya. Hanya saja kami masih kekurangan sesuatu.”

“Apa itu?”

“Kami kekurangan tenaga, Vir. Kami butuh orang yang terampil merawat mesin, kalau bisa sih yang mengerti seni modifikasi. Siapa tahu bisnis kecil-kecilan ini berkembang?” tiba-tiba saja aku teringat Wira.

“Mas, aku tahu orang yang seperti itu. Mungkin aku bisa membantu?”

“Siapa?”

“Wira, Mas.”

“Kamu yakin orang seperti Wira mau bekerja kotor di bengkel? Apa iya dia mampu, Vir?”

“Yakin sekali, Mas, dia sedang mencari pekerjaan, kok. Mas lihat motor balapnya kemarin? Dia mendesain modifikasinya sendiri lho, Mas. Percaya deh! Dia pernah memperlihatkan desainnya kepadaku…”

“Oke, oke Vir, simpan dulu ceritamu itu. Sekarang aku butuh nomor ponsel Wira,” kuberikan ponselku kepada Mas Tomi.

“Oke, sekarang aku akan menghubunginya untuk bertemu dengan teman-temanku. Kamu jaga rumah baik-baik, ya Vir, aku akan mengajak Wira bertemu teman-temanku.”

“Mas Tom, aku minta tolong ya?” Mas Tomi menatapku. Tampaknya ia membaca permintaanku untuk membantu Wira. Kemudian ia berjalan menuju motornya di garasi.

Selanjutnya aku menuju ke kamar. Yang kulakukan hanyalah berharap dan terus berharap Wira akan dapat menemukan jalan keluarnya. Tanpa kusadari, mataku makin lama semakin berat.

###

Beberapa menit kemudian, kudengar suara motor berhenti di depan rumah. Aku bangkit dari tempat tidurku dan menghampiri suara itu. Namun ternyata Mas Tomi sampai lebih dulu di depan pintu kamarku.

“Bagaimana Mas? Bisa?”

“Awalnya sih, aku tidak memberitahunya kalau aku punya bisnis ini,” ia berjalan menuju kursi belajarku dan duduk. Aku mengikutinya dengan duduk di atas kasurku memeluk guling. “Jadi setelah menelponnya, aku menemui Wira di rumah kosnya sambil membawa majalah otomotifku. Aku berbincang-bincang dengannya sambil memancingnya untuk melihat majalahku itu. Ternyata dia tertarik dan pembicaraan kami beralih ke otomotif. Aku perlu membuktikan ucapanmu, Vir, dan ternyata kau benar. Dia tahu banyak tentang otomotif.”

“Apa kubilang? Benar kan?”

“Kau sudah makan, Vir?” aku teringat akan perutku yang belum kukasihani semenjak pulang kuliah.

“Belum.”

“Kalau begitu temani Wira makan sementara aku mandi. Aku sudah menyuruh Bu Sumi mempersiapkan makan. Wira sekarang di ruang tamu. Setelah makan, aku akan mengajaknya menemui teman-temanku,” lalu aku bergegas menuju ruang tamu.

“Wira?” lagi-lagi ia menatapku lama. Ia bangkit dari duduknya mendekatiku. Tiba-tiba ia memelukku sambil mengusapkan tangannya di punggungku dan berbisik, “Sekali lagi terima kasih, ya Vir.”

“Ehm…” Bu Sumi tiba-tiba muncul. Wira melepaskan pelukannya secara spontan. “Nak Vira, makanannya sudah siap.”

“Oh iya, terima kasih, Bu,” kuajak Wira ke ruang makan.

###

Waktu terus bergulir. Sepuluh semester sudah kami lalui. Tak terasa aku dan Wira hari ini akan menjalani wisuda. Wira berhasil membuktikan padaku dan teman-teman yang lain bahwa ia akhirnya dapat bekerja keras demi masa depannya. Dengan usahanya sendiri, ia dapat menyelesaikan studinya. Kurasa, hari-hari pahit sudah ia lalui. Wira, sahabatku yang baik hatinya, tinggi, tampan, pujaan teman-temanku kini memiliki seorang sahabat lain yang membantunya lebih dari yang bisa kulakukan. Dia adalah kakak sepupuku, Mas Tomi. Mereka berdua memiliki kesamaan yang membuat mereka akrab.

Seluruh mahasiswa memakai toga kebanggaan kami. Namun, sejak pagi aku belum melihat Wira hadir di tempat ini. Aku duduk terpisah darinya karena kami duduk menurut fakultas kami. Pastinya teman-temanku yang lain akan semakin kagum melihat Wira yang tampan dan gagah mengenakan toga. Acara wisuda pun dimulai.

Beberapa menit setelah acara dimulai, ponselku bergetar. Pesan dari Wira,

Vira, setelah acara ini temui aku dan ibuku ya, di lobi gedung. Aku ingin memperkenalkan ibuku.

Tentu saja! Kubalas pesannya. Aku juga akan memperkenalkan ibu dan ayahku yang hadir bersamaku. Setelah mendapatkan pesan Wira, aku tidak fokus lagi pada acara wisuda kali ini. Ingin rasanya segera berakhir.

Beberapa menit berlalu, akhirnya Bapak Rektorat Yang Terhormat mengakhiri acara ini. Setelah melalui sesi foto bersama keluarga, aku mengajak ayah dan ibu menemui Wira dan ibunya di lobi. Dengan mudah kutemukan mereka berdua. Wira, sahabatku begitu gagah mengenakan toga. Ia begitu tampan, kali ini akulah yang terkagum-kagum melihatnya. Ia mengenalkan ibunya kepada kedua orangtuaku. Mereka bertiga, ibu Wira dan kedua orangtuaku pun berbincang-bincang.

Wira agak menjauhkanku dari mereka, “Hei Vir, kenapa diam saja? Biasanya kau cerewet?” aku baru sadar aku terlalu terpesona oleh kilau Wira.

“Eh, masa sih? Aku… mungkin pengaruh sanggul ini yang terlalu berat?” Wira tertawa kecil. Aduh, sungguh manisnya sahabatku ini!

“Dokter, setelah wisuda ini apa yang akan kau lakukan?” godaku pada Wira.

“Suster, banyak sekali rencana dalam hidupku. Tapi prioritas pertamaku adalah menemukan pendamping hidupku lalu bekerja bersamanya.”

“Wah wah… kau harus mencarinya, Wira. Atau mungkin kamu sudah menemukan gadis beruntung ini?” Wira beralih ke sampingku.

“Aku tidak perlu mencarinya karena aku sudah menemukannya.”

“Hei! Siapa gadis beruntung yang sudah mencuri hati sahabatku ini?” Wira menggandeng tanganku. Kulihat orangtua kami berjalan menuju tempat teduh dan masih berbincang-bincang.

“Gadis beruntung itu juga kau kenal.”

“Benarkah? Cepat katakan namanya!” aku agak kesal juga ia mengulur-ulur waktu untuk memberitahukan siapa orang yang telah merebut hatinya. Tiba-tiba Wira menggandeng tanganku lebih erat lagi dan merendahkan kepalanya untuk berbisik, “Jangan kaget, namanya adalah Novira Dhea Widyastuti, biasa kupanggil Vira. Dia sekarang sedang berada di sampingku,” aku terpaku di tempatku berdiri, sedangkan Wira berjalan menyusul orang tua kami.